Archive for Juni 2016

,

Apa yang Alkitab Katakan tentang Hukuman Rajam dengan Melempari Batu



"Apa yang Alkitab katakan tentang hukuman rajam (hukuman mati dengan melempari batu)?"



Ini juga salah satu bagian yang banyak diserang / dikritik oleh skeptis, mereka menuduh Allah dalam Perjanjian Lama sebagai : kejam, pembunuh dan sangat jahat terhadap umat manusia. Bahkan orang Kristen yang kurang mempelajari Alkitab pun banyak yang terperangah ketika ditunjukkan pada bagian ini. Maka untuk mengerti kebenaran dari firman Allah, mari kita meneliti bagian ini dari Kitab Suci.

Apakah itu hukuman rajam?
Hukuman rajam adalah metode hukuman yang dijalankan oleh sekelompok orang, biasanya rekan-rekan dari pihak orang yang bersalah, dengan melempari batu orang terkutuk itu sampai dia mati. Cara mati dengan dirajam ditetapkan dalam Hukum Perjanjian Lama sebagai hukuman untuk berbagai macam dosa. Baik hewan maupun manusia dapat menjadi obyek hukuman rajam (Keluaran 21:28), dan hukuman rajam ini tampaknya dikaitkan dengan dosa-dosa yang menyebabkan kerusakan permanen pada kerohanian atau kemurnian secara seremonial dari seseorang ataupun binatang.

Beberapa dosa yang mengakibatkan dijatuhinya hukuman rajam dalam Perjanjian Lama adalah : pembunuhan (Imamat 24:17), penyembahan berhala (Ulangan 17:2-5), mendekati terlalu dekat ke Gunung Sinai ketika kehadiran Allah ada di sana (Keluaran 19:12-13), penyembahan roh-roh orang yang telah mati atau okultisme (Imamat 20:27), dan menghujat nama Tuhan (Imamat 24:16). Hukuman rajam mungkin juga merupakan hukuman untuk berbagai jenis dosa seksual (Ulangan 22:24); bagian-bagian yang terkait dalam Imamat 20 tidak merinci metode/cara eksekusi, melainkan hanya menyebutkan bahwa pihak yang bersalah harus "dihukum mati."

Hukum Musa menetapkan bahwa, sebelum seseorang dapat dijatuhi hukuman mati dengan cara dirajam, harus ada sidang, dan setidaknya harus ada dua orang yang bersaksi: "Atas keterangan dua atau tiga orang saksi haruslah mati dibunuh orang yang dihukum mati; atas keterangan satu orang saksi saja janganlah ia dihukum mati " (Ulangan 17:6). Para saksi  itu "harus menjadi orang pertama yang melempar batu pada orang itu, dan kemudian tangan semua orang" (“Saksi-saksi itulah yang pertama-tama menggerakkan tangan mereka untuk membunuh dia, kemudian seluruh rakyat." Ulangan 17:7a). Dengan kata lain, orang-orang yang bersaksi terhadap orang yang dihukum di pengadilan harus melemparkan batu pertama. Contoh hukuman dengan pelemparan batu dalam Perjanjian Lama adalah kematian Akhan dan keluarganya (Yosua 7:25) dan Nabot, yang dirajam atas tuduhan saksi-saksi palsu (1 Raja-raja 21:13).

Hukuman rajam adalah metode eksekusi yang dipilih oleh orang-orang Yahudi yang tidak percaya yang menganiaya orang-orang Kristen mula-mula. Stefanus, martir pertama gereja, dilempari batu sampai mati di luar Yerusalem oleh anggota Sanhedrin. Pada kesempatan itu, seorang pemuda bernama Saulus, yang kemudian menjadi Rasul Paulus, memegangi  jubah orang-orang yang sedang melemparkan batu-batu ke Stefanus (Kisah Para Rasul 7:54-60).

Dalam bagian lain yang terkenal dalam Kitab Suci, orang-orang Farisi berusaha menjebak Yesus agar memberikan persetujuan untuk merajam seorang wanita yang tertangkap basah sedang melakukan perzinahan. Secara jelas, pria yang berzinah dengan wanita itu tidak ikut dihadirkan oleh mereka – padahal Hukum Taurat menentukan hukuman mati berlaku bagi kedua belah pihak yang bersalah. Jawaban Yesus sangat menarik dalam hal ini. Wanita itu jelas bersalah, tetapi Yesus memahami para musuh-Nya yang bermuka-dua. Alih-alih memberi mereka jawaban langsung, Yesus berpaling kepada mereka yang telah menyeret wanita itu di hadapan-Nya dan berkata,"Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."(Yohanes 8: 1-11). Dengan perkataan ini, Yesus meminta para saksi untuk maju – para saksi, yang terikat oleh sumpah, adalah orang-orang yang harus melemparkan batu pertama. Yesus juga menunjukkan hati Allah yang penuh belas pengasihan terhadap orang berdosa dan membungkam tuduhan massa yang munafik ini.

Modus lain dari eksekusi hukuman rajam, termasuk melemparkan orang yang bersalah itu bagian kepala dulu dari tebing curam dan kemudian menggulirkan sebuah batu besar ke tubuh orang itu. Ini persis apa dilakukan oleh massa di Nazareth ketika mencoba untuk merajam Yesus setelah Ia berkotbah di rumah ibadat mereka. Ketika mereka mendengar pengakuan Yesus sebagai Mesias, "Mereka bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu.” (Lukas 4:29). Lolosnya Yesus dari massa yang marah ini adalah mukjijat: "Tetapi Ia [Yesus] berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi." (ayat 30). Karena saat itu bukan waktu Tuhan untuk mati (lihat Yohanes 10:18  Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali.), dan Dia tidak akan pernah dapat mati dibunuh dengan rajam karena nubuat tentang kematian-Nya jelas mengatakan bahwa tidak ada satupun tulang-Nya akan dipatahkan (Yohanes 19:36 Sebab hal itu terjadi, supaya genaplah yang tertulis dalam Kitab Suci: "Tidak ada tulang-Nya yang akan dipatahkan.").

Hukuman rajam adalah cara yang mengerikan untuk mati. Cara-cara tertentu eksekusinya pastilah menimbulkan rasa jera yang kuat sehingga orang-orang berusaha untuk tidak berbuat dosa-dosa yang dianggap layak untuk dijatuhi hukuman rajam. Allah sangat peduli akan kemurnian umat-Nya. Hukuman yang ketat atas dosa pada masa Hukum Taurat telah membantu mencegah bangsa Israel untuk tidak mengikuti cara-cara hidup yang tidak murni dari bangsa-bangsa kafir di sekitar mereka dan untuk tidak memberontak terhadap Allah. Upah dosa adalah maut (Roma 6:23), dan Israel diperintahkan secara tegas untuk menjaga kemurnian mereka di hadapan Allah: "Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu. (Ulangan 17:7b).

Sumber : GotQuestions.org

,

Kekerasan dalam Perjanjian Lama, bagian 1

Mengapa Allah memerintahkan tindakan kekerasan dalam Perjanjian Lama?




Fakta bahwa Allah memerintahkan pemusnahan seluruh bangsa di Perjanjian Lama telah lama menjadi sasaran kritik keras dari penentang-penentang Kekristenan. Bahwa memang ada kekerasan dalam Perjanjian Lama adalah tidak terbantahkan. Pertanyaannya adalah apakah kekerasan dalam Perjanjian Lama dapat dibenarkan dan diampuni oleh Allah. Dalam buku laris, The God Delusion, karangan seorang atheis bernama Richard Dawkins, ia mengacu pada Allah dari Perjanjian Lama sebagai "pendendam, pembersih etnis yang haus darah." Wartawan bernama Christopher Hitchens mengeluh bahwa Perjanjian Lama berisi perintah untuk melakukan "pembantaian membabi buta." Kritik-kritk lain atas Kekristenan rata-rata bernada tuduhan yang sama, menuduh Yahweh telah melakukan suatu "kejahatan terhadap kemanusiaan".

Tetapi apakah kritik-kritik ini benar? Apakah benar Allah dalam Perjanjian Lama itu adalah "monster moral" yang sewenang-wenang memerintahkan pemusnahan orang-orang tak bersalah, perempuan, dan anak-anak? Apakah reaksi Allah atas dosa-dosa orang Kanaan dan orang Amalek merupakan tindakan kejam "pembersihan etnis" yang tidak berbeda dari kekejaman yang dilakukan oleh Nazi? Atau mungkinkah bahwa Allah memiliki alasan moral yang cukup untuk memerintahkan penghancuran bangsa-bangsa ini?



Pertama, pengetahuan dasar tentang kebudayaan Kanaan mengungkapkan kejahatan moral yang telah turun temurun melekat pada bangsa itu. Bangsa Kanaan adalah bangsa yang brutal, bangsa agresif yang melakukan tindakan-tindakan amoral seperti berhubungan seks dengan binatang, inses, dan bahkan pengorbanan anak. Tindakan seksual yang menyimpang adalah norma. Dosa bangsa Kanaan 'sangat menjijikkan’ hingga Allah berkata, "Negeri itu telah menjadi najis dan Aku telah membalaskan kesalahannya kepadanya, sehingga negeri itu memuntahkan penduduknya" (Imamat 18:25). Meskipun demikian, penghancuran itu lebih ditujukan pada agama bangsa Kanaan (Ulangan 7: 3-5,12: 2-3) dari pada ditujukan pada orang-orang/penduduk Kanaan. Penghakiman  ini tidak bermotivasi etnis. Orang Kanaan, contohnya seperti Rahab diYerikho, masih dapat menemukan belas pengasihan Allah atas pertobatannya (Yosua 2). Kehendak Allah adalah agar orang-orang jahat/berdosa berbalik meninggalkan dosa-dosa mereka, bukan agar mereka binasa. (“Sebab Aku tidak berkenan kepada kematian seseorang yang harus ditanggungnya, demikianlah firman Tuhan ALLAH. Oleh sebab itu, bertobatlah, supaya kamu hidup!” Yehezkiel 18: 32, “Katakanlah kepada mereka: Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup. Bertobatlah, bertobatlah dari hidupmu yang jahat itu!” Yehezkiel 33:11).

Selain berurusan dengan dosa bangsa itu, Allah menggunakan penaklukan Kanaan untuk menciptakan konteks sejarah di mana Ia akhirnya dapat memperkenalkan Mesias kepada dunia. Mesias ini akan membawa keselamatan tidak hanya untuk bangsa Israel, tetapi juga untuk musuh-musuh Israel, termasuk bangsa Kanaan (Mazmur 87: 4-6; Markus 7: 25-30).

Harus diingat bahwa Allah memberi bangsa Kanaan lebih dari cukup waktu untuk bertobat dari cara hidup mereka yang jahat – melebihi 400 tahun (Kejadian 15: 13-16)! Kitab Ibrani mengatakan bahwa bangsa Kanaan "tidak patuh," yang menunjukkan pemberontakkan mereka secara moral / iman (“Karena iman maka Rahab, perempuan sundal itu, tidak turut binasa bersama-sama dengan orang-orang durhaka, karena ia telah menyambut pengintai-pengintai itu dengan baik.” Ibrani 11:31). Bangsa Kanaan menyadari kuasa Allah (Yosua 2: 10-11; 9: 9) dan sebenarnya dapat mencari pertobatan. Hanya dalam kasus yang jarang terjadi ini, mereka tetap melanjutkan pemberontakan mereka melawan Allah hingga sebagai akibatnya mereka harus berakhir pahit.

Tetapi bukankah Allah juga memerintahkan Israel untuk membunuh warga sipil? 
Alkitab jelas mencatat bahwa memang benar perintah pemusnahan itu juga diterapkan atas warga sipil. Di sini sekali lagi, kita harus ingat bahwa, meskipun benar perempuan Kanaan tidak melawan, ini tidak berarti mereka tidak bersalah, karena perilaku mereka merayu bangsa Israel untuk ikut dalam penyembahan berhala dalam Bilangan 25 menunjukkan (1 Sementara Israel tinggal di Sitim, mulailah bangsa itu berzinah dengan perempuan-perempuan Moab. 2 Perempuan-perempuan ini mengajak bangsa itu ke korban sembelihan bagi allah mereka, lalu bangsa itu turut makan dari korban itu dan menyembah allah orang-orang itu. 3 Ketika Israel berpasangan dengan Baal-Peor, bangkitlah murka TUHAN terhadap Israel; Bilangan 25: 1-3). 
Namun, masih ada satu pertanyaan: lalu bagaimana dengan anak-anak? 
Ini bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab, tapi kita harus mencamkan beberapa hal dalam pikiran kita. Tidak ada seorang manusia (termasuk bayi) yang tidak berdosa. Alkitab mengajarkan bahwa kita semua dilahirkan dalam hakekat dosa (“Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku.” Mazmur 51:7). Ini menyatakan bahwa semua orang telah berdosa secara moral akibat dosa Adam. Bayi juga terkutuk akibat dosa seperti halnya orang dewasa.

Kedua, Allah berdaulat atas seluruh kehidupan dan dapat mengambilnya kembali kapanpun Ia melihat  hal itu cocok untuk dilakukan. Hanya Allah sendiri yang dapat memberikan kehidupan, dan hanya Allah saja yang memiliki hak untuk mengambil kembali. Bahkan, Dia akhirnya mengambil kehidupan setiap orang pada saat kematian. Allah yang memberi setiap kita kehidupan, bukan kita sendiri. Jika itu salah bagi kita untuk membunuh (mengakhiri hidup seseorang), kecuali dalam kasus hukuman mati, perang, dan pertahanan diri, ini tidak berarti bahwa Allah juga salah jika mengakhiri kehidupan seseorang. Secara intuitif kita mengenali hal ini ketika kita menuduh beberapa orang atau penguasa yang mengambil kehidupan manusia lain sebagai "bertindak seakan –akan dia itu Tuhan. " Allah tidak berkewajiban untuk memperpanjang hidup siapapun walau hanya untuk satu hari. Bagaimana dan kapan kita mati sepenuhnya terserah kepada-Nya.

Ketiga, tetap saja akan ada keberatan, Allah akan tetap dianggap kejam, kalaupun Ia memerintahkan untuk membunuh semua orang Kanaan kecuali bayi dan anak-anak. Karena tanpa perlindungan dan dukungan dari orang tua mereka, bayi dan anak-anak kecil kemungkinan besar akan
mati juga karena kelaparan. Kemungkinan seorang anak yatim piatu untuk bertahan hidup di negeri kuno Timur Dekat [=ancient Near Eastern] sangatlah kecil.

Terakhir, dan yang paling penting, kita perlu mengingat bahwa bangsa Kanaan memiliki budaya barbar dan jahat. Jika bayi-bayi dan anak-anak mereka terus hidup hingga dewasa, sangat mungkin mereka akan berubah menjadi orang-orang yang mirip dengan para orang tua mereka dan yang telah dikutuk masuk ke neraka setelah mereka mati.

Memang, untuk memahami bahwa Allah memerintahkan kekerasan dalam Perjanjian Lama adalah sulit. Namun, kita harus ingat bahwa Allah melihat sesuatu dari sudut pandang kekal, dan jalan-Nya bukanlah jalan kita (Yesaya 55: 8-9). Rasul Paulus mengatakan bahwa Allah adalah baik tapi juga keras (Roma 11:22). Meskipun benar bahwa karakter Allah yang kudus menuntut bahwa dosa harus dihukum, namun kasih karunia dan pengampunan-Nya tetap tersedia bagi mereka yang bersedia untuk bertobat dan diselamatkan. Kehancuran Kanaan menjadi suatu peringatan bagi kita untuk sadar bahwa, sementara Allah kita adalah penuh kasih dan penyayang, Ia juga adalah Allah yang maha suci dan penuh murka.


Baca bagian 2 
Langsung ke bagian 3

Sumber : GotQuestions.org

,

Penjelasan : Yesus sebagai Bintang Timur

Aku, Yesus, telah mengutus malaikat-Ku untuk memberi kesaksian tentang semuanya ini kepadamu bagi jemaat-jemaat. Aku adalah tunas, yaitu keturunan Daud, Bintang Timur yang gilang-gemilang. Wahyu 22:16.


Penunjukkan pertama pada bintang fajar/bintang timur sebagai individu ada dalam Yesaya 14:12: "Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa!" Alkitab versi bahasa Inggris King James dan New King James keduanya menerjemahkan "bintang timur" sebagai "Lucifer, putra fajar." Dari seluruh sisa pasal ini, jelas Yesaya menunjuk kepada kejatuhan setan dari Surga (Lukas 10:18). Jadi dalam hal ini, bintang timur mengacu pada setan. Di dalam Wahyu 22:16, Yesus jelas mengidentifikasi diri-Nya sebagai Bintang Timur. 

Jadi mengapa Yesus dan setan digambarkan sebagai "bintang timur"?


Sangat menarik dan penting untuk dicatat bahwa konsep "bintang fajar/bintang timur" bukan satu-satunya konsep yang diterapkan pada Yesus dan setan. Dalam Wahyu 5:5, Yesus disebut sebagai Singa dari suku Yehuda. Dalam 1Petrus 5:8, setan dibandingkan dengan singa, mencari orang yang dapat ditelannya. Intinya adalah ini, Yesus dan setan, hingga batas tertentu, memiliki kesamaan dengan singa. Yesus memiliki kesamaan dengan singa dalam arti bahwa Dia adalah Raja, Dia adalah agung dan mulia. Setan memiliki kesamaan dengan singa dalam arti bahwa ia berusaha untuk memangsa makhluk-makhluk lain. Tetapi, hanya sampai sebatas ini saja adanya kesamaan antara Yesus, setan, dan singa. Yesus dan setan sama-sama memiliki kesamaan ciri dengan singa tetapi dalam hal yang sangat berbeda.


[Sesungguhnya, Singa dari suku Yehuda, yaitu tunas Daud, telah menang ~Wahyu 5:5]


Gagasan tentang "bintang fajar/bintang timur yang gilang-gemilang" adalah bintang yang mengalahkan semua makhluk lain.  Setan adalah karya ciptaan Tuhan, mungkin yang paling indah, mungkin yang paling kuat dari semua malaikat, maka setan adalah bintang timur yang gilang-gemilang. Yesus, sebagai Allah yang menjelma menjadi manusia, Tuhan alam semesta, adalah Bintang Timur gilang-gemilang yang asli/sejati. Yesus adalah yang cahaya/terang/sinar gilang-gemilang yang paling suci dan paling kuat  di seluruh alam semesta. Jadi, ketika Yesus dan setan digambarkan sebagai "bintang timur yang gilang-gemilang," adalah tidak masuk akal jika hal ini diartikan sebagai menyamakan Yesus dan setan. Karena jelas setan adalah makhluk ciptaan, setan hanya dapat bercahaya cemerlang sejauh mana Allah menciptakannya. Berbeda dengan Yesus yang adalah Allah, Dia adalah Sang Pencipta sendiri! Yesus adalah terang dunia (Yohanes 9:5). Yesus bercahaya dari diri-Nya, yaitu terang yang kekal sebagaimana diri-Nya adalah Allah yang kekal. Setan mungkin menyerupai bintang timur yang gilang-gemilang, tetapi dia hanya tiruan dari satu-satunya Bintang Timur gilang-gemilang yang asli, yaitu Yesus Kristus, terang dunia. 



Sumber : GotQuestions.org


 

,

Penjelasan : Allah adalah Allah atas segala allah dan Tuhan atas segala tuhan

"Apa artinya bahwa Allah adalah Allah atas segala allah dan Tuhan atas segala tuhan [dapat dibaca : Tuan atas segala tuan] ?"




Jawaban: Kita tahu bahwa hanya ada satu Tuhan Allah, tapi kadang-kadang Alkitab seolah-olah menunjuk pada adanya allah-allah lain dan tuhan-tuhan lain. Misalnya Ulangan 10:17 menyatakan, "Sebab TUHAN, Allahmulah Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat, yang tidak memandang bulu ataupun menerima suap"Siapa pun "allah" dan "tuhan/tuan" lain ini, mereka tidak dapat bersaing dengan "Allah yang maha besar, kuat dan dahsyat."

Penekanan dalam ayat ini adalah supremasi / keunggulan Allah. Fokusnya adalah pada kebesaran dan kekuatan Allah. Ketika Ia disebut "Allah segala allah," kita memahami bahwa ini menunjukkan Allah lebih kuat dan lebih besar dari allah-allah lain. Ayat ini sama sekali tidak mengajarkan adanya allah-allah lainnya.Sebaliknya, Tuhan berkata, "Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah." Yesaya 45:5. Demikian juga Yesaya 43:11 “Aku, Akulah TUHAN dan tidak ada juruselamat selain dari pada-Ku. Sebagai "Allah segala allah," maka Allah yang Sejati berada di posisi tertinggi di atas apa pun juga yang mungkin disembah manusia.
Tetapi jelas, hanya Allah yang Sejati satu-satunya yang layak disembah (Ulangan 10:20-21).

Berhala –berhala tidak memiliki kekuatan! : "Sebab segala allah bangsa-bangsa adalah berhala, tetapi Tuhanlah yang menjadikan langit." (1 Tawarikh 16:26; lihat juga Mazmur 96:5). Mazmur 97:7 menambahkan, "Semua orang yang beribadah kepada patung akan mendapat malu, orang yang memegahkan diri karena berhala-berhala."  
Juga ada banyak ayat-ayat lain yang mencatat bahwa hanya ada satu Allah. Menyembah allah yang lain adalah sia-sia!

Lalu bagaimana dengan gelar "Tuhan segala tuhan"? Seorang "tuhan/tuan [dengan t huruf kecil,  (ini juga bisa dibaca : tuan)]" biasanya menunjuk pada seorang pemimpin/penguasa. Menyebut Allah dengan gelar "Tuhan segala tuhan" berarti menekankan kebesaran Allah di atas semua pemimpin-pemimpin lainnya atau di atas segala pemegang kekuasaan manapun. Karena itu, pemazmur menulis, "Bersyukurlah kepada Tuhan segala tuhan! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya." Mazmur 136:3.


Yesus disebut Anak Domba yang telah disembelih, Dia juga disebut Singa dari suku Yehuda. [Sesungguhnya, singa dari suku Yehuda, yaitu tunas Daud, telah menang, sehingga Ia dapat membuka gulungan kitab itu dan membuka ketujuh meterainya." Maka aku melihat di tengah-tengah takhta dan keempat makhluk itu dan di tengah-tengah tua-tua itu berdiri seekor Anak Domba seperti telah disembelih, bertanduk tujuh dan bermata tujuh: itulah ketujuh Roh Allah yang diutus ke seluruh bumi. Wahyu 5:5-6]


Dalam Perjanjian Baru, kita menemukan kalimat "Tuhan segala tuhan" yang digunakan pada tiga kesempatan yang menunjuk pada Yesus. Paulus mengajarkan bahwa 1) Yesus adalah "Penguasa yang satu-satunya dan yang penuh bahagia, Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan." 1Timotius 6:152)Kemudian dalam Wahyu 17:14 yang berbicara tentang kedatangan Yesus yang kedua kalinya, mengatakan, “Mereka akan berperang melawan Anak Domba. Tetapi Anak Domba akan mengalahkan mereka, karena Ia adalah Tuan di atas segala tuan dan Raja di atas segala raja. Mereka bersama-sama dengan Dia juga akan menang, yaitu mereka yang terpanggil, yang telah dipilih dan yang setia."  3)Ketiga, dalam Wahyu 19:16 menambahkan, "Dan pada jubah-Nya dan paha-Nya tertulis suatu nama, yaitu: "Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan."

Menariknya, gelar "Tuhan segala tuhan(Tuan segala tuan)" justru menegaskan kekuatan Allah yang unik dan memberikan wawasan ke dalam sifat Tritunggal Allah. Allah Bapa adalah Dia yang disebut "Tuhan segala tuhan" dalam Ulangan 10:17 dan dalam Mazmur, para penulis Perjanjian Baru menggunakan gelar yang sama untuk merujuk kepada Anak Allah yaitu Yesus Kristus. Allah Tritunggal -Bapa, Anak, dan Roh Kudus- memang adalah Raja di atas segala raja dan Tuhan di atas segala tuhan. Inilah Allah yang Sejati, selain Dia, tidak ada yang lain!


Sumber : GotQuestions.org